Surat Cinta untuk Ayah
Daftar Isi
Setelah sekian lama tak menulis surat cinta untuk suami, berasa flash back. Ketika Tugas matrikulasi nulis surat kepada Pak suami, jadi ingat momen awal nikah. Banyak uraian kata yang ku tulis. Meski lewat pesan udara yang terangkum dalam chat Whatsapp, cukup menuai kisruh antara saya dan suami, waktu itu.
Maklum, awal menjadi pasangan suami istri, bahtera rumah tangga harus dijalani melalui hubungan long distance marriage. Kenal suami melalui proses taaruf yang berakhir beneran nikah.
Sungguh, bagaikan ombak yang sering goyang kesana kemarin menunjukkan deraiannya menyebabkan segala uneg-uneg saya muntah. Tanya ina-inu, maunya suami pengen punya istri yang bagaimana. Sampai tanya panjang lebar dan tak usah saya ceritakan detail disini.
Intinya, suami menginginkan istrinya menjadi sebenar-benarnya istri yang tahu urusan Ibu rumah tangga. Menjadi Ibu yang baik dan bisa mendidik anak sebagaimana visi dan misi yang telah kami rembug. Kalau mengingat Masa itu, luar biasa effortnya. Sekarang, tinggal memupuk kasih sayang menjadi suami istri dengan komunikasi yang baik. Dengan tetap meneruskan misi menjalin bahtera rumah tangga yang di ridloi Allah.
Aliran Rasa Menulis Surat Cinta
Ketika menuliskan surat cinta ini tentu ada rasa khawatir. Adakah pernyataanku yang menyakitkan ? membuat dadanya lebih sesak ? atau memang sedang di titik terendah? . Karena memang kondisi kami sedang dalam ujian.
Tak perlu semua orang tahu kesedihan apa yang sedang kami alami. Melihat wajah ceria anak dan ketika momen berkumpul dengan personal lengkap, tiga sejoli, kami merasa beban yang sedang kami pukul terasa hilang.
Ya begitulah hidup. Kadang pasang, kadang surut. Kadang kita tak pernah tahu badai apa yang akan menerjang. Biarkan Kapal kami tetap sampai di pulau impian dengan cara kami, untuk terus berjuang melewati hantaman ombak dan badai.
Kesemuanya, tak lain ada tugas utama saya bagaimana menjadi AC pendingin dikala rumah tangga sedang dalam keprihatinan atas suatu hal.
Indikator Profesionalisme Peranku Sebagai Perempuan
Menjadi Istri
Masih teringat betul, meski sudah beberapa tahun pernah kami bahas dalam suatu momen, menjadi Ibu yang mengerti kondisi anak. Menjadi Ibu yang sigap, tanggap akan segala hal yang terjadi di rumah. Menjadi Ibu yang sesungguhnya hingga bisa bersih-bersih rumah sesuai parameter partner terus saya upayakan demi cintaku.
Menjadi Ibu
Menjadi Ibu memang tidak mudah. Butuh upaya keras untuk tetap istiqomah menjalankan peran Ibu sebagaimana Islam mengatur. Menyusui anak sampai usia dua tahun. Menjadi madrasah utama bagi anak serta menjadi teladan baik bagi sang buah hati.
Menjadi Anak
Seorang istri, tatkala telah menjadi makmum suami, apapun kondisinya bakti utamanya adalah kepada suami. Lantaran Hal itu, berbakti kepada orangtua tak ada sekat. Bersyukur, partner hidup selalu support untuk tetap merawat cinta kasih dengan berbakti kepada orangtua. Meski cara baktinya tak seperti dulu ketika masih singgelillah, sangat bersyukur. Sosok pemimpin yang telah menjadi imamku senantiasa mengingatkan.
Menjadi diri sendiri
Namanya juga ibu-ibu. Banyak Hal yang dicapai. Apalagi dulu, sempat icip dunia organisasi. Meski sudah beranak, nyatanya ghiroh untuk tetap eksis dengan habit yang dulu cukup membntuk karakter Dan asah me tal kerap menjadi candu. Bagaimana tetap produktif Dan berbagi keseruan dengan berkontribusi dalam kegiatan sosial ? Sejauh mata memandang.
Penutup
Semoga untaian kalimat yang tak beraturan ini tetap menjadi pemantik, pengingat sekaligus penawar dari segala tantangan menjadi ibu bekerja yang profesional. amiin
Posting Komentar