Tantangan Ibu Bekerja
Daftar Isi
Saya percaya, menjadi seorang ibu adalah peran terbaik yang harus kita syukuri. Sejak proses kehamilan, otomatis, ibu diberikan anugerah terbaik untuk mengenali diri serta memahami kondisi terbaiknya menjaga janin hingga bayi itu lahir.
Siapa yang menolak peran itu ? tak seorangpun yang berani mengindahkan amanah tersebut . Pun saya, sebelum menjadi ibu itu super kaku tidak bisa bergaul sama anak-anak. Setelah punya momongan sendiri, Masha Allah, secara otomatis pula saya belajar menjadi ibu yang mengerti dunia anak-anak. Lama-lama bisa membujuk, bermain layaknya seumuran mereka, hahahihi tanpa malu akan reputasi.
Kondisi Setiap Ibu Bekerja Tidaklah Sama
Menjadi ibu rumah tangga yang keseharian dirumah saja pernah saya lakoni. Apalagi berperan lagi menjadi ibu bekerja?, insha Allah terus berusaha kuat melewati berbagai ujian (kehidupan).
Mulai dari menjalin hubungan long distance marriage sama suami. Susahnya mencari baby sitter, merasakan capek momong sendiri tanpa pembantu. Sekarang, label ibu bekerja saya pegang kembali. Bahkan kini jauh dari saudara, jauh sama suami dan ..... ya begitulah rasanya.
Takkan bisa didefinisikan. Begitupun kondisi setiap ibu, tidak bisa disamakan. Atau bahkan dibanding-bandingkan.
Jika selama ini saya tak berupaya penuh belajar menghadapi setiap tantangan dengan baik, itu artinya saya terus berusaha mencari titik aman dan memastikan bahwa saya mampu menghadapi tantangan itu.
Tantangan Ibu Bekerja
Ketika perjalanan menikmati peran menjadi ibu bekerja yang beneran tanpa pembantu tiba-tiba dihujani masalah terkait nyinyiran orang yang komplain karena saya bawa anak ditempat kerja kok rasanya nano-nano ya.
Tidak habis pikir sekaligus kecewa pada orang tersebut. Apalagi segala tingkah polah saya disoroti terus dan masalah bawa anak ke sekolah bukan kali pertama berhubungan dengan orang tersebut.
Hmmmm, menjalankan amanah sebaik mungkin yang saya anggap sesuai tupoksi tak bernilai dimatanya. Untung dia bukan pemimpin di instansi tempat saya mengajar.
Setelah koreksi diri dan fokus kepada solusi, Alhamdulillah dalam waktu seminggu saya sudah bisa mengkondisikan anak sebelum jam 7 pagi untuk mau saya antar ke tempat penitipan anak. Maklum, jauh sama suami, ibu dan saudara, fulldaycare menjadi solusi terbaik bagi ibu bekerja macam saya.
Adakah yang pernah mengalami kejadian sama dengan saya ? kurang lebih dua tantangan terbesar sebagai ibu bekerja, bila digambarkan seperti gambar berikut :
Alasan Kenapa Bawa Anak Ke Tempat Kerja
Menjalani hubungan jarak jauh itu enggak semudah yang saya bayangkan, ferguso. Awal sebelum memutuskan bekerja, sudah punya rencana matang buat menitipkan anak ke daycare dekat tempat kerja.
Nyatanya, tiap mau ditinggal kerja anak menangis. Ada aja kendala kalau si kecil belum siap jauh dari emak dan bapaknya.
Sering saya ceritakan perjalanan tentang si kecil dalam rangkaian #jurnalanak
1. I'm Mom, Back To Workingmom
Kurang lebih, kalimat di ataslah yang mewakili segenap profil ini. Mungkin, karena si kecil pernah merasakan kedua orangtuanya hidup seatap, jadinya, ketika saya balik kerja dan setahun setelah saya bekerja suami pindah tempat kerja, cukup membuat kondisi suasana hati anak goyah.
"Kok, emak dan bapak saya pada sibuk kerja"?. Kurang lebih, mungkin begitu kalau saya mencoba membaca isi hatinya. Raungan anak ditambah tangisan kencang sering menghantui pikiran saya. Menjadi pemandangan tiap pagi sebelum saya tinggal berpamitan.
Tapi, saya harus bertekad penuh membuat diri senang terus. Agar perasaan itu tak menyambung secara otomatis ke anak walau sebenarnya tanpa penghubung kabel (ibarat kata, begitu 😃). Apa yang dipikirkan ibu dari kejauhan akan mempengaruhi aktivitas anak.
2. Kurang Tegasnya Keputusan
Setelah mencoba untuk evaluasi, mungkin saya kurang tegas dalam bersikap ke anak. Saya memperbolehkan dia untuk ikut saya terlebih dahulu sebelum dia mau diantar ke daycare.
Tidak ada solusi lain pada waktu itu. Sebab, anak bertambah besar semakin bertingkah semaunya, seperti minta jajan lah, nonton video di laptop lah dan mengucap berbagai alasan lain yang membuat saya luluh. Sehingga saya cukup sering mengajak anak ke sekolah setiap hari.
Beberapa teman memaklumi kondisiku, meskipun demikian ternyata ada juga yang selama ini mbatin. Berlagak baik didepan tapi dalam hatinya tak mau menerima kondisiku. Huft.
Pasang muka tembok memang, karena saat anak tantrum dan berontak karena menolak diantar ke daycare, anakpun beraksi. Seperti menggoyang-goyangkan motor saat on the way naik motor, nangis kejer dan lain sebagainya.
Ibu mana yang enggak ikutan tantrum coba ? merasa capek dan lelah atur semuanya, tapi keadaan belum memihak.
Inginnya sih, anak disuruh ini nurut. Disuruh begitu mau aja. Tetapi, ada sifat egosentris yang melekat pada malaikat kecil dan itu adalah wajar. Hanya saja, saya terlupa bagaimana memahami sifat bawaan itu. Dari situlah saya mencoba mengurai benang merahnya.
Pokok, bila hati saya tidak tenang disertai tantrum juga justru memperparah keadaan. Dengan segala juang berupaya penuh mengkondisikan anak agar sebelum jam 7 pagi mau diantar ke playgroup dengan penuh keceriaan. Berkaitan akan hal itu, ada beberapa hal yang biasanya saya lakukan. Hingga mencapai kata berhasil mengkondisikan anak.
a. Sounding sebelum tidur
Menggunakan waktu sebelum tidur, untuk ngobrol baik-baik dengan anak. Agar diterima secara tulis olehnya. "Nak, besok bunda berangkat pagi ya. Dan sekarang , bunda tidak boleh bawa mas andra lagi ke sekolah. Dilarang!. Bunda biar fokus bekerja. Besok pagi bangun, mandi terus berangkat". Kalimat itu saya ulang terus sampai pada praktiknya anak tidak tantrum saat diantar ke sekolah.
b. Bangun Pagi Bergegas Mandi
Biasanya saya setting alarm. Karena perjalanan dari rumah ke sekolah cukup jauh, sebisa mungkin urusan masak, menyiapkan bekal anak dan bekal saya sendiri, baju ganti anak serta jajan anak sudah siap di tas masing-masing.
Harus bisa pagi memang, kalau terlewat 5 menit saja bisa-bisa rutinitas mandi pagi anak saya skip karena takut terlambat. Maklum, apa-apa saya siapkan sendiri jadi harus bisa bagi waktu. Pokok, menghindari tantrum anak agar pagi jadi waktu menyenangkan karena akan berpisah beberapa jam saat saya bekerja.
Saat membangunkan anak, biasanya saya pangku. Saya siapkan makanan kesukaan dan melayani sepenuh hati untuk ambil hati anak supaya manut apa kata saya. Jika hatinya sudah senang, baru saya gotong untuk mandi.
Butuh waktu minimal 15 menit buat merayu anak buat mandi. Bahkan diawal, 45 menit hanya saya gunakan untuk merayu anak demi anak mau mandi. Kebayang kan, berapa effortnya ibu bekerja macam saya ini. Hhhhhhe.
c. Konsisten
Saya yakin, niatan baik saya didengar Tuhan. Tekad bulat untuk memperbaiki kinerja diri.serta menerapkan disiplin ke anak, nyatanya bisa saya lakukan. Semua kunci ada di saya memang. Bila teledor sehari saja, harus mengulang penerapan kebiasaan baik itu. Yang mana cukup menguras stok sabar karena diawal pasti anak penuh dengan drama. Maka, konsistensi adalah kuncinya. Termasuk konsisten membuat permainan buat anak ini memang masih jadi catatan, mengingat dunia anak dunia bermain. Selain buat memperkuat bonding, buat curi hati anak agar manut dikemudian hari.
Tantangan Karir Ibu Bekerja, Berupaya Menyeimbangkan Peran di Rumah dan Tempat Kerja
Terus meyakinkan diri, bahwa Tuhan tidak akan memberikan ujian diluar kemampuan saya.
Pernah menyalahkan keadaan. Sedih, dan pernah menyalahkan Tuhan juga. Tapi, setelah melalui beberapa kali muhasabah (koreksi diri) dengan berserah diri, tak sepantasnya saya bersikap menolak takdir. Seharusnya saya bersyukur kepada Tuhan telah diberi kemudahan untuk menghadapi itu.
Memang, tantangan ibu bekerja tidaklah sama. Saat anak masih kecil, semua ibu bekerja pasti pernah di fase ini. Bingung entah kemana menitipkan anak saat ibu sedang bekerja. Di satu sisi, dapur harus tetap mengepul.
Balik lagi, kuncinya memang ada pada kekuatan seorang ibu. Apapun perannya, tetap harus bisa menjalankan kedua peran baik di kantor dan dirumah harus bisa memastikan semua aman.
Bila di tempat kerja ada masalah, ya sebisa mungkin untuk bisa menyikapi dengan penuh kebijakan. Masalah tidak dibawa-bawa ke rumah yang mana itu bisa menyebabkan kondisi keluarga jadi panas. Apalagi kalau anak masih kecil, saat ibu emosi saja, emosi itu bakal menular.
Maka, menjadi ibu bekerja harus bisa menjadi pendingin suasana. Jangan sampai berimbas dan memberikan dampak buruk bagi keluarga. Suami telah mengijinkan istri bekerja, itu artinya suami telah mempercayakan sepenuhnya urusan rumah tetap pada istri. Jadi, kitanya yang harus bisa menunjukkan rumah tangga tetap menggapai ridlo Tuhan. Sakinah, Mawaddah dan Warahmah.
Nulis begini tuh, sekaligus mengingatkan diri sendiri. Bikin nyesss, dihati.
Ibu Bekerja Harus Kuat, Meniti Karir Tidaklah Mudah
Tidak ada yang ingin berpaling dari sebuah amanah. Baik menjalankan peran sebagai wanita karir saat diluar pun ketika menjadi ibu dan istri dari sang suami. Bagaimanapun, peran ini memang tidaklah mudah.
Ketika mampu bersikap tenang, fokus ke solusi akan masalah maupun tantangan. Kita bakal lebih mudah dalam mengambil langkah. Bukan fokus pada hujatan teman, nyinyiran yang malah itu semua bikin hati bertambah sesak.
Ibu harus kuat. Anggap saja mereka adalah orang-orang yang paling peduli dengan kita. Tetap, prioritaskan tugas utama dijalankan penuh dengan rasa tanggungjawab baik dirumah maupun di tempat kerja. Orang bakal menilai sendiri, seberapa kuat kemampuan kita menghadapi segala ujian dalam hidup. Yang jelas, terus mendekat kepada Tuhan adalah hal utama.
Saat tantangan meniti karir begitu banyak. Yuk, buat jeda waktu tertentu untuk memikirkan langkah apa yang seharusnya dibuat. Mungkin, ibu lelah, capek, frustasi, bosan dan label apapun itu. Ketika hati sedang tidak baik-baik saja. Waktunya merespon perasaan itu, selesaikan lalu melangkahlah.
Penutup
Kini, saya telah membuktikan, bahwa saya bisa membuat kondisi aman terkendali. Saya bisa bekerja dan fokus mulai dari pukul 7 pagi sampai jam 15.00 WIB. Tanpa distraksi harus nyambi momong anak di waktu pagi.
Kuncinya, ada pada diri saya, ibu. Selesaikan waktu pagi sebelum berangkat untuk menyelesaikan tugas rumag dan mengkondisikan anak. Setelahnya baru fokus bekerja.
Itulah secuil pengalaman, tantangan ibu bekerja saat saya membawa anak ke tempat kerja ternyata tidak semua orang menerima. Meski sudah berusaha menghadap ke pimpinan bahwa saya butuh pemakluman. Tetap, mengupayakan agar waktu bekerja tetap steril dari gangguan anak butuh bersungguh-sungguh untuk membuktikan mereka bahwa, ibu bisa melalui tantangan ini. Semoga bermanfaat.
Saya membaca sambil merasakan kuatnya mental anda.
Betapa semua-muanya sendiri. Dinyinyiri juga pasti mengelola emosi sendiri. Dan tentu harus tetap tenang dihadapan anak.
Sungguh terasa perjuangannya. Semangat yaaa. peluk jauhhh :)
Every mom has her own battle, apalagi saat anak sakit dan kerjaan ga bisa ditinggal, duh rasanya gimana gitu.
I feel you mbak, peluk dari jauh, saling menguatkan
Kuat dan sehat selalu ibu-ibu terbaik untuk keluarganya masing-masing